Pada hari Jum’at, tepatnya tanggal 11 Maret 2011, sebuah ledakan terjadi di pembangkitan listrik tenaga nuklir di Fukushima, Jepang. Ledakan tersebut dipicu oleh adanya gempa yang berkekuatan sekitar 9 skala Ritcher dan menimbulkan tsunami yang dahsyat, menyapu daratan Negeri Matahari Terbit. Ledakan tersebut, menurut pakar nuklir dari UGM, Dr. Alexander Agung, ledakan tersebut merupakan ledakan dari sisa energi Megawatt dalam bentuk hidrogen yang bereaksi dengan oksigen. Tidak hanya sampai di sini, pada hari-hari berikutnya terjadi ledakan-ledakan yang menyertainya. Sehingga, tergeraklah para pakar nuklir dan lingkungan untuk melakukan suatu penelitian terhadap dampaknya. Salah satunya adalah badan peneliti yang mengkaji peredaran radioaktivitas yang menyebar luas di wilayah perairan. Penelitian tersebut melibatkan suatu peraga yang memberikan data-data mengenai penyebaran zat radioaktif yang berbahaya tersebut.
Simulasi-simulasi dari perangkat komputer selama berhari-hari menunjukkan bahwa sejauh ini efek dari zat radioaktif yang telah tersebar ke laut lepas dan merupakan dampak dari reaktor nuklir Fukushima tersebut terpaut secara luas di daerah-daerah tepi pantai dan sekitarnya. Dalam sebuah penelitian modelling dan masih dalam proses yang dilakukan oleh para peneliti Perancis menyebutkan bahwa arus Kuroshiro yang kuat, cenderung menghalangi penyebaran radiasi air laut yang terkontaminasi dari aliran yang menuju ke selatan, tepat menuju Teluk Tokyo. Namun, data sementara menunjukkan bahwa sedikit sekali dari air laut yang terkontaminasi di sekitar Teluk Tokyo.
Untuk mengetahui dimana tepatnya lokasi-lokasi radioaktivitas Fukushima menyebar, membutuhkan prakiraan yang rumit dan hasilnya pun rawan akan ketidakpastian. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan upaya penelitian modelling arah laju liak-liuk penyebaran minyak pada Teluk Mexico, dan beberapa teluk yang lain, dimana tingkat ketidakpastiannya tinggi, begitulah tanggapan dari seorang peneliti lautan Claude Estornel. Dia merupakan seorang anggota dari The Sirocco Group dari University of Toulouse, Perancis yang meneliti the Symphonienh, sistem modelling lautan dimana penelitian tersebut dibawah otoritas badan penelitian nasional Perancis, CNRS. Badan Internasional Energi Atom (The International Atomic Energy Agency) meminta The Sirocco Group menjalankan sistem modelling tersebut dilakukan di pusat Pembangkitan Fukushima di tepi pantai, tepatnya sebelah timur laut Tokyo. Hasilnya, simulasi-simulasi yang dihasilkan tersebut dan telah disebar melalui media elektronik, internet penuh dengan ketidakpastian, Estournel menambahkan, bahwa The Sirocco Group hanya mendata “skenario dispersi” yang memberikan sebuah “susunan/orde besaran” dari pemikiran mengenai berapa jumlah/banyaknya radionuklida di laut lepas.
Sebenarnya, modelling atau peragaan tersebut sangatlah membenarkan intuisi para ahli kelautan (oceanographer). Konsentrasi tertinggi dari peragaan tersebut masih berkisar sejauh 5 kilometer atau dalam lingkup daerah pinggiran pantai, tapi akhir-akhir ini tertingkatkan menjadi sejauh 50 kilometer ke utara dan selatan oleh adanya arus pergerakan angin. Kontaminasi tersebut tersebar secara langsung ke laut lepas.
Radionuklida pertama yang tersebar ke atmosfer hanya akan jatuh pada laut lepas dengan konsentrasi radiasi 20 sampai 100 kali lebih rendah, tapi tersebar lebih luas, mencapai 600 kilometer jauhnya dari pantai dan 150 kilometer jauhnya dari lepas pantai. Dalam peragaannya, konsentrasinya adalah 1000 kali lebih rendah daripada yang berada di dekat Fukushima, tepatnya di Kuroshiro. Kuroshiro terletak memotong antara luas dari bagian selatan yang terkontaminasi dan arah timur menuju Samudera Pasifik. Modelling tersebut akan menuntun wilayah Jepang sebagai upaya para peneliti dalam pengambilan data eksperimen dari perluasan lautan yang kemungkinan besar terkontaminasi.
(Oleh Fristian, disadur dari http://news.sciencemag.org/scienceinsider/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar