Minggu, 17 April 2011

Solusi Krisis Energi di Indonesia dalam Seminar Nasional Energi 2011


Suatu keadaan disebut krisis adalah dimana permintaan (demand) sangat tinggi dan pasokan (supply) tidak dapat memenuhi permintaan, sehingga tidak seimbang antara permintaan yang banyak dan pasokan yang sedikit. Itulah yang disebut krisis menurut pengertian supply and demand. Sama halnya dengan yang terjadi pada Indonesia, yaitu krisis energi. Permintaan energi, seperti listrik, BBM, minyak tanah maupun gas sangatlah tinggi, namun persediaan di Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Penyediaan energi terpusat pada sumber energi. Merupakan suatu fakta bahwa Indonesia merupakan Jamrud Khatulistiwa, negara yang kaya akan mineral dan sumber energi. Beberapa mineral yang bernilai tinggi di Indonesia ialah emas yang melimpah di bumi Papua, uranium di daratan Borneo, minyak bumi sebanyak 86,9 miliar barel atau setara dengan 100,5 triliun liter, batu bara, magnesium, dan banyak lagi mineral yang melimpah di Indonesia. Indonesia memang kaya akan sumber energi. Namun, sebenarnya apa permasalahan dari krisis energi tersebut.
PLTU Paiton
Sebelum meninjau krisis listrik lebih lanjut, alangkah baiknya apabila kita menelisik bagaimana ideologi ketenagalistrikan diterapkan di Indonesia. Ir. Ahmad Daryoko mengatakan bahwa, Indonesia menganut ideologi tersebut sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No : 001-021-022/PUU-I/2003 Tgl 15 Desember 2004, yaitu pembatalan UU No 20 Tahun 2002 tentang kertenagalistrikan, terbukti bahwa tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan dalam UUD pasal 33 ayat (2) yang berisi, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sebenarnya, Ideologi di Indonesia mengenai ketenagalistrikan sudah baik, namun dalam implementasiannya masih dipertanyakan.
Karena dalam pengembangan kualitas dari fasilitas ketenagalistrikan membutuhkan dana yang sangat banyak, maka dibutuhkan adanya investor. Untuk menarik investor, dibutuhkan strategi yan tepat. Maka dari itu, diterapkannya liberalisasi ketenagalistrikan di Indonesia. Akibatnya adalah pemerintah lemah dalam sisi politik dan terjadi politisasi harga oleh pihak asing, sehingga ujung dari liberalisasi tersebut adalah pembebanan terhadap masyarakat. Bentuk liberalisasi tersebut adalah sistem unbundling, yaitu sistem dimana perusahaan yang mengatur ketenagalistrikan dibedakan berdasarkan wilayah, sistem, dan lain-lain. Dan yang terjadi adalah monopoli harga. Itulah semua yang terjadi apabila diterapkannya sistem liberalisasi terhadap ketenagalistrikan, atau dengan kata lain yang mengatur ‘hajat orang banyak’ adalah pihak swasta/asing. Seharusnya, hal yang menyangkut hajat orang banyak harus dikelola oleh khalifah untuk semata kebaikan rakyat.
Setelah mengetahui ideologi dari ketenagalistrikan di Indonesia, , kita bisa lebih jelas dalam memverifikasi krisis energi di Indonesia. Keadaan energi di Indonesia merupakan gambaran yang dibutuhkan untuk menentukan masalah dari krisis energi. Dalam seminar energi di Malang pada tanggal 16 April 2011, Dr. H. Muhammad Alfian Mizar, M.P, pakar renewable energi menjabarkan kondisi energi di Indonesia sebagai berikut,
1.      Akses masyarakat terhadap energi (modern) masih terbatas.
Masyarakat di Indonesia masih ada yang belum mendapatkan pasokan energi seutuhnya. Jadi, pemerataan energi masih belum maksimal. Rasio elektrifikasi (2008) 66%  (34% belum berlistrik); Pengembangan infrastruktur perdesaan/terpencil/pulau terluar umumnya belum mendapatkan akses energi.
2.      Pertumbuhan konsumsi energi 7%/Th, belum diimbangi suplai energi yg cukup.
Konsumsi energi sebagai demand selalu tumbuh dengan pesat dan pertumbuhan demand tidak diiringi dengan supply yang proporsional.
3.      Tingginya ketergantungan terhadap Energi Fosil, cadangan makin terbatas.
Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, Indonesia menggunakan hampir 95% sumber energi untuk pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fosil, diantaranya: batubakar, minyak bumi, dan gas alam.
4.      Pemanfaatan energi terbarukan dan implementasi- nya belum optimal.
Banyak sekali potensi energi terbarukan di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal. Energi angin, biomassa, ombak, panas bumi, mikro-hidro, cahaya matahari merupakan sumber energi yang terbarukan.
5.      Keterbatasan pendanaan pengembangan sektor energi terbarukan.
Permasalahan dari pemanfaatan energi terbarukan secara optimal bermuara pada ‘modal’. Investor cenderung enggan dalam pengembangan energi terbarukan karena proyek energi berbahan bakar fosil jauh lebih menguntungkan.
Dari fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya perubahan pola pikir mengenai supply energi. Sampai saat ini energi terbarukan merupakan energi alternatif, bukannya sumber energi utama. Padahal, kita tahu bahwa energi tak terbarukan merupakan sumber energi yang terbatas yang seharusnya menjadi energi alternatif. Akibat dari hal tersebut adalah ketika harga internasional minyak bumi melambung, harga listrik pun melambung, sehingga subsidi kian membengkak dan pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia semakin berkurang. Salah satu contoh, sebuah pembangkit listrik tenaga solar tidak akan beroperasi apabila dana untuk pasokan solar tidak ada yang diakibatkan dari melambungnya harga BBM. Maka, pasokan listrik pun berkurang dan diterapkannya pemadaman bergilir untuk pemerataan energi listrik. Dari sudut tersebut, kita sudah bisa tahu salah satu permasalahannya adalah ketergantungan pembangkit listrik terhadap bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif. Sebenarnya, banyak sumber energi yang bisa dimanfaatkan, yaitu biomassa, energi angin dan cahaya, serta energi nuklir yang potensinya sangat menjanjikan.
Reaktor Biogas
Pertama, biomassa. Biomassa dikatakan sebagai sumber energi terbarukan yang paling potensial. Pakar Bioteknologi dari Universitas Negeri Malang, Dr. H. Subandi, M.Si dalam seminar energi (16/4/2011) mengatakan bahwa fakta dari potensi biomassa sebagai EBT (Energi Baru Terbarukan) di Indonesia mencapai 50 GW. Biomassa adalah sumber energi yang berasal dari materi organik makhluk hidup.
Reaktor Biomass
Disamping merupakan energi terbarukan, BBN dan Biogas  lebih ramah lingkungan dibanding BBM. Optimasi produksi BBN dan biogas memerlukan penguasaan teknologi, utamanya bioteknologi, yang memadai seperti berikut,
·         Optimasi sintesis biodiesel menggunakan microwave dan ultrasonik
·         Optimasi produksi bioetanol menggunakan Teknologi Generasi Kedua (Bioetanol dari selulose)
Pengembangan bioenergi dapat dilakukan dengan mendorong pemanfaatan limbah industri pertanian dan kehutanan secara terintegrasi dengan kegiatan ekonomi masyarakat, mendorong pabrikasi teknologi konversi energi biomassa dan meningkatkan penelitian-pengembangan pemanfaatan limbah (termasuk sampah) kota untuk energi. Pemanfaatna terebut bisa dilakukan dengan biogas.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
Kedua, energi renewable (terbarukan) lain. Dalam seminar energi 2011 di Malang, disebutkan potensi-potensi EBT sebagai berikut: (1) Cahaya yang intensitas rata-rata di Indonesia mencapai 4.700 kWh/m2, Indonesia mempunyai potensi PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) sebesar 1.203 TW, (2) Kecepatan angin di Indonesia antara 3-6 m/s menghasilkan potensi listrik sebesar 9,29 GW, (3) Mikro-hidro di Indonesia cukup berpotensi mengingat banyaknya aliran sungai di wilayah Indonesia, sehingga potensinya mencapai 450 MW, (4) Panas bumi merupakan energi terbarukan apabila manajemen eksploitasinya sesuai syarat dan peraturan. Panas bumi di Indonesia dapat menjadi pembangkit listrik dengan potensi keseluruhan 27 GW. Dari empat EBT tersebut, hanya berkisar 0.005% – 5.5% pemanfaatnannya. Bahan bakar fosil merupakan komoditi yang tak terbarukan dan memeiliki harga yang tinggi. Saat ini Indonesia masih belum mampu secara maksmal dalam pengelolaannya, maka akan butuh biaya yang besar untuk ‘membeli’ komoditi tersebut. Sedangkan, sumber yang ‘gratis’ seperti keempat EBT tersebut yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Sistem Keamanan Reaktor Nuklir
Ketiga, pemanfaatan energi nuklir. Energi nuklr ialah energi yang saat ini ada pada posisi puncak dalam tingkat efisiensi dan efektifitas. Bayangkan, 20 gr uranium dapat dimanfaatkan menjadi sebuah daya pembangkit listrik yang setara dengan 2,25 ton batubara. Jadi, tidak heran apabila PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) sudah diterapkan di Indonesia, maka TDL (Tarif Dasar Listrik) setara dengan 2 sen per kWh (Amerika 2004) atau berkisar Rp 180. Masalahnya adalah tentang tingkat keselamatan. Namun, hal itu disanggah oleh Mochamad Nasrullah SE, M.Si dalam seminarnya (16/4/2011) mengatakan bahwa saat ini SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia merupakan SDM yang paling siap se-Asia Tenggara dalam pengembangan teknologi nuklir sebagai PLTN. Selan itu, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025, Bab IV : . . . mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat . . . (RPJM ke-3,  2015 – 2019).
Sumber-sumber energi tersebut masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Kendalanya bukan pada SDM teknisi, melainkan SDM politik dan ekonomi. Saat ini masih tinggi tingkat korupsi dalam migas baik untuk sumber daya listrik maupun mineral. Selain itu juga, permasalahan modal untuk membangun sebuah pembangkit listrik yang tidak bergantung pada bahan bakar fosil cukup pelik. Dibutuhkan generasi yang dapat mengubah pola pikir eksploitasi energi dan sistem politik-ekonomi yang bersih. Dan generasi harapan tersebut dimulai dari generasi saat ini.
“Sementara belum bisa membuat industri listrik tingkat besar dan untuk kemaslahatan masyarakat banyak, dimulai dari diri sendiri untuk mengimplementasi dan inovasi ilmu, sekecil apapun pasti berarti,” Dr. H. Subandi, M.Si, pakar bioteknologi dan PD I Universitas negeri Malang, 16 April 2011.
“Masyarakat Indonesia harus berani mengelola sumber energi secara syariah (baik dan benar)  dengan semangat kemandirian, jangan diserahkan pada pihak asing, dan harus melawan penjajahan modern berbentuk neoliberal dengan syariah Islam (pegangan kebenaran dan keadilan),” Ir. Ahmad Daryoko, ketua serikat pekerja PLN Indonesia, 16 April 2011.
“Mengatasi krisis listrik di Indonesia tiada cara selain kembali pada syariah Islam (kebenaran dan keadilan) sebagai khalifah (pemerintah) demi kemaslahatan rakyat banyak,” Anas Nasrullah, S.E, M.Si, tim ahli di BATAN, 16 April 2011.
“Jika bukan generasi saat ini, siapa? Jika bukan masa generasi saat ini, kapan? ” Dr. H. Muhammad Alfian Mizar, M.P, pakar renewable energy dan kepala tim pengembangan pusat penelitian teknologi dan industri Universitas Negeri Malang, 16 April 2011.

Oleh: Fristian Chayyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar